Jumat, 14 November 2008

Cerpen

Dasi
Suara knalpot berdentum seperti letupan jagung di atas minyak goreng. Wajah lusuh itu cemong seperti teknisi bengkel, penuh debu sekitar pipi dan kening dari tubuh mungil. Kurus kecil seperti penderita busung lapar, wajah memelas dengan telapak tangan tersimpan diperut.

Sebuah mobil sedan dengan warna violet mengkilat berhenti satu meter tepat di belakang garis zebra cross. Bocah tengik dengan baju rombeng itu berjalan dengan gontai menuju sisi kendaraan mewah itu. Mencoba mencari nafkah dengan menyapu debu dan mengharap uang receh yang bilamana dikumpulkan akan menjadi tumpukan beras untuk mengganjal tubuh keringnya.

“Permisi De!” jawab pengendara mobil mewah itu mengangkat tangannya sembari membuka kaca jendela yang tepat di sebelah bahunya.

“Pak, seratus saja!” teriak bocah itu menengadahkan tangannya dengan bibir yang pecah-pecah.

“Permisi yah De!” jawab pengendara mobil itu kembali dengan sumringah, dirogohnya sakunya berkali-kali dan mencoba mencari uang kecil dari sela-sela dashboard, namun tak dapat ditemukannya uang logam bergambar garuda itu.
“Terima kasih Pak! Selamat jalan,” jawab bocah itu.

Sontak sosok gagah dari mobil sedan itu membesarkan matanya, baru kali ini ada seorang anak jalanan yang berterima kasih kepadanya, biarpun tak diberi uang.
Perasaan dalam hatinya gundah, berkecamuk seperti lecutan kuda yang dipecut ke sekujur tubuhnya. Jantungnya berdegup dengan kencang, merasa berdosa akan apa yang dimiliki seorang Anggoro Widjatmoko yang tak mampu memberikan selembar kertaspun dalam dompet kulitnya.

“Untuk apa kaca mata hitam ini, untuk apa kemeja berkelas ini, dan untuk apa tubuh yang gagah ini kubentuk dengan mengeluarkan banyak uang, namun memberi selembar kertas seribu rupiah kepada bocah ingusan untuk mengisi perutnya saja aku tak mampu,” ucapnya dalam hati sembari melihat sosok kecil itu dari spion dan dua tiga mobil tetap tak memberikannya uang sepeserpun.

Dengan perasaan yang sangat bersalah dia membuka pintu mobilnya dan melangkahkan kakinya menuju sosok kecil berambut kemerah-merahan akibat terik matahari yang mengubah warna rambutnya.

“De, kamu sudah makan belum?” tanya Anggoro menepuk bahu bocah itu dengan senyum yang lebar.

“Ehh, Bapak yang tadi, saya belum makan Pak!” jawab bocah itu dengan tawa ceria.
“Tadi pagi sudah makan?” tanya anggoro kembali.

“Tenang pak, saya baru tiga hari belum makan,” jawab bocah itu dengan polos disertai mimik ceria di wajahnya.

Anggoro nampak menahan keharuannya dalam sebuah realita yang jauh dihadapannya. Tak peduli dia dengan suara klakson mobil di belakangnya saat traffic light menunjukkan warna hijau, dia menatap sendu wajah bocah itu yang terus tersenyum menatap Anggoro dengan penuh perhatian layaknya seorang anak yang senang bermain dengan orangtuanya.

“Kamu mau makan apa?” tanya Anggoro tanpa memedulikan teriakan ‘MAJU WOIII ‘ di belakang mobil mewahnya.

“Saya suka dasi Bapak!” teriak bocah itu sambil menunjuk dasi corak catur yang menggantung di leher Anggoro.

“HAH” Wajah Anggoro kaget saat bocah itu menunjuk dasi yang harganya jauh lebih mahal dari 10 hari uang makan ditempat dia bekerja.

“Kamu suka dasi, De?” tanya Anggoro dengan penuh perhatian sembari memegang kepala adik kecil itu.

Suara terompet mobil yang ribut sebelumnya tak terdengar kembali, pengendara di belakang mobil mewah anggoro telah menyalip dari sisi kiri untuk melintasi perempatan lampu merah.

“Saya ingin seperti Bapak kalau sudah besar, pakai dasi kaya Bapak!” teriak bocah kecil itu.

Tak tahan ia menahan tangisan melihat tingkah laku bocah kecil itu. Dengan cepat ia melepaskan dasi favorit yang dikalungkan di lehernya itu. Anggoro mengalungkan dasinya di leher bocah penuh buduk di tangan kirinya itu. Dikeluarkannya pula uang sebesar lima puluh ribu rupiah dari saku dompetnya, dan diberikannya kepada telapak tangan penuh debu bocah itu.
“Terima kasih, Pak!” teriak bocah itu sembari menarik-narik dasi yang telah diberikan anggoro kepadanya.
“Nama kamu siapa De?” tanya Anggoro sambil membuat simpul segitiga pada dasi yang telah diberikannya untuk leher bocah itu.
“Umar Pak!” jawab bocah itu dengan penuh tawa.
Anggoro akhirnya meninggalkan bocah itu dengan pipi yang basah, sesekali dia usap air mata itu dengan saputangan yang dikeluarkannya dari saku celana hitamnya. Berbisik dia dalam hati.
“Dasi, dasi..” sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tidak ada komentar: